Home » , » Guru dan Kehidupan

Guru dan Kehidupan

Written By Unknown on Senin, 06 Mei 2013 | 04.45

Guru itu kehidupan, bukan penghidupan. Coba cermati pernyataan tersebut. Menjadi guru, untuk apa? Apakah Anda berkarya untuk kehidupan atau bekerja untuk penghidupan? Sekali lagi, tolong cermati dengan baik. Robert F. Mager pernah berujar, “Jika Anda tak tahu ke mana harus menuju, Anda akan tiba ke tempat yang tidak menentu.”
Saya punya seorang kenalan, bertahun-tahun lamanya menjadi guru tapi merasa tak pernah punya passion. Apa pun yang dikerjakan seolah hanya menjadi penggugur kewajiban saja. Cepat stres jika tak mampu tangani persoalan murid. Hampir tak ada satu pun inovasi yang lahir dari gagasan pemikirannya. Kabar buruknya, lama usia pengabdian tak berbanding lurus dengan karya dan prestasi yang ditorehkan. Inilah guru penganut filosofi ‘yang penting jadi gurulah’.
Tapi mari saksikan episode kehidupan guru pada sosok Torey Hayden dan Erin Gruwell. Kisah hidupnya sebagai guru lebih berwarna. Lika-liku perjuangannya lebih terasa. Meski menguras airmata dan bergulat dengan persoalan hidup, mereka tetap bisa meraih kebahagiaan hakiki, yaitu jadi manfaat bagi sesama. Sesuatu yang tak bisa dibayar dengan apa pun jua.
Siapa Torey Hayden? Dia seorang guru yang berhasil menulis buku Sheila: Luka Hati Seorang Gadis Kecil (One Child) yang sudah diterjemahkan ke dalam 28 bahasa. Sekuelnya, Sheila: Kenangan yang Hilang (Tiger’s Child), ditulis 15 tahun kemudian ketika Sheila sudah dewasa. Buku ini berkisah tentang perjuangan Torey dalam mendidik seorang anak berkebutuhan khusus, Sheila namanya. Kisah tentang Sheila tidak hanya menyentuh hati jutaan pembaca di Inggris dan Amerika Serikat, tetapi juga di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Anak berkebutuhan khusus, pada umumnya berkemampuan akademis rendah, terganggu secara emosional, agresif, dan gangguan lain yang tak kalah membingungkan. Naasnya, banyak pihak (sekolah, orangtua, guru) terlalu cepat melabeli mereka sebagai anak nakal, bodoh, aneh, rusak, tidak bisa diperbaiki, tidak bisa dididik, gila, dan seterusnya. Tapi di tangan Torey, anak-anak istimewa itu bisa ‘dimanusiakan’. Betapapun panjang dan melelahkannya proses mendidik anak-anak itu, Torey menjalaninya sepenuh hati. Hanya cinta sajalah yang membuat Torey bisa menghadapi semua tantangan itu. Dan hal itu tersirat dari ungkapannya berikut:
“Aku belajar dari murid-muridku, kekinianlah yang terpenting. Pada zaman modern, kita cenderung berorientasi pada tujuan. Masalahnya, tujuan itu ada di masa depan. Dan tak satu pun dari kita hidup di masa depan. Kita hidup sekarang. Sekaranglah prosesnya. Aku hanya punya sekarang, jadi ketika bekerja dengan mereka, aku harus hadir sepenuhnya, sadar sepenuhnya, dengan apa yang terjadi di sekelilingku. Ternyata dengan begitu, aku menemukan sesuatu yang kaya. Dalam segala keburukan, kecantikan, tragedi, humor, di tengah semua itu, ada cinta.

BEGITU PULA KISAH NYATA yang dialami Erin Gruwell. Sosok guru kreatif nan inspiratif yang mampu mengubah hidup para muridnya lewat aktivitas menulis. Tantangan terbesar dalam kariernya adalah menghadapi murid dari kalangan multietnis, mereka yang terlibat dalam gangster dan peredaran narkoba. Alamat salah bicara, kita bisa diteror dan ditodong pistol. Guru mana yang tak gentar hadapi situasi ini?
Kalau guru yang bekerja untuk penghidupan, besar kemungkinan mereka akan lari dari persoalan ini. Tapi hal ini tak berlaku bagi guru kehidupan. Mereka akan tetap fokus membantu menyelesaikan persoalan hidup murid. Tak melulu sekadar menyampaikan pengetahuan. Tapi membantu murid menemukan makna kehidupan. Dia perankan dirinya sebagai pendidik sejati.
Kecintaan pada profesi dan ketulusan dalam mengabdi, kombinasi terwujudnya sikap total dalam diri Erin Gruwell. Banyak cara diupayakan, sebanyak itu pula penolakan dan kegagalan menimpanya. Dia tetap tak mau menyerah. Line games, strategi mengajar kreatif yang membuat situasi kelas lebih kondusif untuk belajar. Padahal, situasi kelas sebelumnya sangat tak terkontrol. Menariknya, setelah line games dilakukan, murid-murid berubah menjadi lebih solid sebagai sebuah komunitas belajar. Dengan bermodalkan sebuah buku catatan kosong dan kesediaan Erin menyimak kisah hidup muridnya yang ditorehkan lewat tulisan, semua siswa menjadi keranjingan membaca dan menulis. Bukan sekadar membaca dan menulis ejaan dan kata tak bermakna, tapi membaca dan menulis kisah kehidupan pribadi mereka yang ingin lepas dari bayangan kelam masa lalu.
Kisah hidup Erin Gruwell didokumentasikan dalam sebuah film bertajuk Freedom Writers: Their Stories Their Words, Thinking Out of The Box. Berpikir dan bertindak di luar cara-cara biasa ternyata mampu mengubah kehidupan murid menjadi lebih baik. Siapa sangka jika murid Erin Gruwell mampu menjadi penulis hebat. Menulis seolah menjadi terapi terbaik untuk mengatasi masalah hidup mereka. Menelisik sisi kehidupan pribadi yang terdalam. Mereka pun akhirnya berdamai dengan kehidupan melalui aktivitas menulis. Menulis untuk kemerdekaan hidup, merdeka dari bayangan masa lalu suram, dan merangkai harapan baru untuk menata kehidupan di masa depan.
Torey Hayden dan Erin Gruwell, merekalah guru yang mengambil peran sebagai agen kehidupan. Sosok tangguh penganut filosofi, jadilah guru atau tidak sama sekali. Mereka memahami bahwa menjadi guru berarti mengubah jalan kehidupan murid-murid. To teach and to educate are to touch life. Torey Hayden dan Erin Gruwell sadar, kehidupan sudah memberikan banyak hal berarti dalam hidup mereka. Lantas, karya terbaik apa yang bisa diberikan kepada kehidupan?

SEBAGAIMANA TOREY HAYDEN DAN Erin Gruwell, guru-guru penempatan yang berasal dari Sekolah Guru Indonesia juga dilatih dan dididik untuk bukan sekadar ‘asal jadi guru’. Kisah-kisah dalam buku ini menandaskan bahwa perjuangan memperbaiki kualitas pendidikan di tanah air tidaklah semudah membalikkan telapak tangan tapi juga tidak sesulit bila diangankan tanpa tindakan nyata.
Walau beratapkan langit mereka rela mendidik anak-anak pelosok negeri; dari Way Kanan, hingga Sambas dan Dompu. Semua rintangan dan cercaan menjadi sahabat di tengah kegigihan berpeluh merindukan pendidikan yang lebih manusiawi dan maju. Tidak ada kekerasan demi tegaknya aturan sekolah. Yang ada ketegasan menjalankan aturan di tengah anak bangsa yang masih terninaboboi oleh keadaan jumud.
Walau keterbatasan sudah jadi menu keseharian, guru-guru muda SGI tidak surut untuk menghentikan aktivitas. Tidak hanya ketika sarana sekolah ala kadarnya, tapi juga saat berhadapan dengan kondisi siswa yang bikin emosi para guru bersumbu pendek.
Menikmati perjalanan para pejuang SGI dalam buku ini tidak hanya pintu masuk mengenal peta pendidikan hari ini di Nusantara, tapi juga gambaran keteguhan mereka memilih jalan hidup sebagai guru. Tengoklah helai demi helai buku ini, Anda akan dapati komitmen mereka bahwa menjadi guru itu pilihan sadar agar hidup kian lebih hidup bagi sesama.
Dus, tepukan di dada, “Beta Guru Sudah”, adalah pertanda bahwa perjuangan itu baru dimulai. Perjuangan dengan penuh syukur dan sarat kebanggaan pada profesi guru. []

Oleh : Asep Sapaat (Direktur SGI)
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template | PKS PIYUNGAN
Copyright © 2011. SDIT BINAUL UMMAH - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger